Sudah waktunya makan siang, niat awalnya untuk makan di restoran depan kantornya dengan Gina harus ia gagalkan. Ia lupa setelah jam makan siang berakhir, ia harus langsung siaran, pastinya tidak mungkin keburu pasalnya Sheryl yakin Gina akan menghabiskan banyak waktu untuk foto foto disana.
Mau tidak mau Sheryl memilih untuk makan di kantin yang tentu pilihan menunya tidak sebanyak restoran di depan. Gina disampingnya melangkah malas sambil berkomentar bagaimana makanan kantin yang rasanya kalah jauh.
“Yaudah makan di sana aja.” Timpal Sheryl.
“Ntar lo ga ada temennya.”
“Lo kali yang kalo makan disana ga ada temennya.” Sheryl menatapnya sinis membuat Gina hanya bisa haha hehe.
Sheryl menyapa Mba Egi yang berjalan lambat di depannya lantaran fokus melihat isi handphonenya.
“Ehh, tumben ke kantin.” Kata Mba Egi setelah menyadari siapa pemilik suara yang menyapanya.
“Kali kali, Mba." Kata Sheryl.
“Gina mau makan di kantin juga?”
“Engga Mba, mau ikutan masak.” Jawabnya hingga yg bertanya jadi tertawa.
“Aku ikut kalian ya, bosen makan sendiri.” Kata Mba Egi yang sekarang sudah menggandeng lengan Sheryl.
Mereka bertiga duduk di meja yang sama. Mba Egi selalu makan di kantin, hanya makanan yang dimakan adalah makanan yang ia bawa dari rumah. Alasannya sama seperti Gina, rasa makanan kantin tidak begitu pas di lidahnya.
“Kamu lagi deket sama Natra ya, Sher?” Tanyanya di sela menyuapi dirinya dengan sesendok nasi.
Sheryl yang sudah mengetahui hubungan antara Mba Egi dan Natra jadi berpikir apa jawaban yang harus ia katakan.
“Deket gimana, Mba?”
“Yaa… deket.” Kata Mba Egi yang tidak terlalu menjawab pertanyaan Sheryl.
“Engga, temen biasa aja.”
“Temenan sama Natra harus hati hati.” Ucapan Mba Egi mampu membuat gina yang dari tadi hanya menggeser geser makanan langsung fokus mendengarkan.
“Sifatnya suka bikin salah paham.” lanjut Mba Egi.
“Hah, kenapa?” Sheryl juga jadi fokus mendengarkan.
“Kalo orang suka flirting, nganter jemput kemana mana, sering ngajak makan berdua, nyediain waktu terus buat kita, artinya apa?” Tanya Mba Egi.
“Ada perasaan...?” Jawab Sheryl
“Natra tuh kaya gitu, tapi kalo ditanya bilangnya sih ga ada maksud apa apa.” Mba Egi lanjut menyendokan makanan kedalam mulutnya.
Gina yang duduk di depan Sheryl mangut mangut mendengar perkataan Mba egi, seperti yang setuju.
“Lo pernah digituin sama dia, Gin?” Tanya Sheryl.
“Hah? Engga. Cuman iya sih omongannya kadang bikin diabetes.”
Mba Egi menutup tempat makannya yang sudah kosong. “Aku balik sekarang ya, masih banyak kerjaan nih.”
Kini menyisakan Gina dan Sheryl yang makanannya belum habis, kalau Gina sepertinya malah belum dimakan sama sekali.
“Sher, ini misalnya ya, kalo dia kaya gitu ke lo dan ternyata ada perasaan, lo mau kaya gimana?” Tanya Gina
Sheryl senyum, “Ya gue tolak, walaupun seandainya gue baper. Her popularity is gonna be too much for me.”
Gina mendecak, “Is it still about Him?” Tanya Gina yang merujuk pada mantan Sheryl.
Sheryl dulu pernah menjalin hubungan dengan seorang aktor yang populer, lebih daripada Natra bahkan. Semua orang tahu tentang Viano sebagai aktor berbakat. Ketenaran Sheryl juga meningkat karena berpacaran dengannya, tapi sebagai pacar Viano, bukan Sheryl, bukan juga penyiar radio dan kemampuannya. Sebutan “pacar Viano" malah lebih terasa seperti nama asli Sheryl ketimbang namanya sendiri karena begitulah cara mereka memanggil Sheryl saat itu.
Viano bukan pacar yang buruk, setiap kali ia memenangkan penghargaan atas karirnya, nama Sheryl selalu disebutkan di paling awal. Bahkan dalam interview yang tidak begitu penting, Viano selalu menyebutkan nama Sheryl dengan bangga.
Namun saat Sheryl yang melakukannya, menyebut nama Viano di siaran radionya, mereka mengatakan Sheryl kebelet tenar dan selalu begitu hingga Sheryl berhenti melakukannya. Berhenti menyebut nama Viano, memposting fotonya di akun sosial medianya, dan semua yang berkaitan dengan Viano.
Mungkin saja hanya Sheryl yang mengetahui seberapa besar rasa sayang yang ia miliki untuk Viano, sebegitu besarnya hingga ia rela menjadikan komentar komentar tidak mengenakkan itu makanan sehari harinya.
Tapi Viano tidak merasa seperti itu, Viano merasa Sheryl tidak menganggapnya. Sheryl seperti menyimpannya sebagai rahasia besar padahal dilain sisi Viano menyorakkan nama Sheryl ke segala penjuru dunia. Semuanya berakhir tanpa Viano mengerti apa yang telah dilalui Sheryl.
Butuh waktu lama untuk komentar komentar itu pergi meninggalkannya. Butuh waktu yang lama pula untuk menerima bahwa Viano bukan lagi miliknya. Sheryl menghilang dari permukaan dunia, tidak ada yang mendengar lagi namanya, suaranya lama tidak muncul di siaran radio.
Namun teman temannya yang selalu menenangkannya dan mengatakan bahwa semua bukan salahnya, semua bukan terjadi karenanya. Setahun mungkin, waktu untuk Sheryl pulih dari semuanya, kembali mengeluarkan suaranya lagi di siaran radio.
“Ugh, c’mon he won’t even bother knowing your story. Lo gak salah tau Sher, justru dia sebenernya yang aneh.”
“Iya tau, kita kan lagi ngomongin Natra, ya gue antisipasi aja.”
“Awas ya sampe masih mikirin dia, gue culik Imol.” Ancam Gina.
Sheryl mengangguk sambil menunjukan senyumnya yang penuh paksaan. Walau sebenarnya hatinya merasa senang diperhatikan oleh teman dekatnya itu.